Revolusi Perancis : Kisah Georges Danton dan Maximilien Robespierre

Selasa, 11 Mei 2010

Di bawah konstitusi tahun 1791, Perancis menjalankan bentuk pemerintahan secara monarki konstitusional yaitu Raja membagi kekuasaan dengan anggota legislatif yang terpilih, namun demikian pihak kerajaan masih memiliki hak veto atas keputusan legislatif ataupun hak dalam melakukan pemilihan terhadap menteri di kabinet. Anggota legislatif sendiri melakukan sidang pertama kali pada tanggal 1 Oktober 1971.

Secara umum anggota legislatif Perancis terdiri dari 165 orang kaum Feuillants (monarki konstitusional) atau yang dikenal sebagai sayap kanan, 330 Girondists (liberal) dan Jacobins (revolusioner) yang dikenal sebagai sayap kiri serta 250 orang yang tidak berafiliasi kepada aliran politik apapun. Dalam prakteknya, beberapa keputusan Raja Louis XVI yang memveto hasil keputusan legislatif, membuat sebagian besar anggota legislatif terutama dari sayap kiri merasa tidak puas dan hal inilah yang kemudian menyulut krisis konstitusional di kemudian hari.

Krisis ini semakin diperparah ketika Perancis memutuskan berperang dengan Austria. Louis XVI dan kaum Feuillants sangat menginginkan perang agar dapat meningkatkan popularitasnya kembali setelah kejatuhannya sebagai monarki mutlak akibat kerusuhan massal di tahun 1789 menyusul krisis ekonomi dan finansial hampir di seluruh Perancis. Demikian pula dengan kaum sayap kiri Girondists juga menginginkan perang untuk menyebarkan ide revolusi ke seluruh Eropa yang pada waktu itu didominasi oleh pemerintahan feodal-monarki.

Tanggal 20 April 1792, pasukan Perancis berhasil menduduki Austria-Belanda (sekarang Belgia) namun berhasil dipukul mundur oleh pasukan gabungan Austria-Prusia di bulan Juli 1792 yang kemudian masuk ke wilayah Perancis di akhir bulan. Pimpinan tertinggi pasukan Austria-Prusia, Charles William Ferdinand atau yang lebih dikenal sebagai Duke of Brunswick, mengultimatum rakyat Perancis agar tidak menyakiti keluarga kerajaan (Louis XVI dan keluarga). Ultimatum ini dikenal sebagai “The Brunswick Manifesto”, dimaksudkan karena dua hal, yang pertama mencegah revolusi kaum republik yang terjadi menggantikan monarki dan yang kedua, istri Louis XVI, Marie Antoinette, adalah bangsawan Austria.

Akibat ultimatum itu kaum sayap kiri Perancis, terutama kaum Jacobins, menjadi marah dan menduga telah terjadi persekongkolan antara Louis XVI dengan Kerajaan Austria untuk menggulingkan kaum republik. Malam hari tanggal 10 Agustus 1792 di bawah pimpinan Georges Danton, kaum Jacobins dan rakyat Perancis menyerang Istana Tuileries dimana Louis XVI dan keluarganya tinggal. Setelah ditangkap Raja beserta keluarganya dimasukan ke dalam penjara, dan semenjak peristiwa itulah praktis monarki di Perancis berakhir.

Kepemimpinan Perancis kemudian digantikan oleh “Konvensi Nasional” yang dibentuk pada tanggal 20 September 1792, keanggotaannya merupakan hasil dari kompromi dari anggota-anggota legislatif Perancis. Secara “de facto” kekuasaan eksekutif Konvensi Nasional dijalankan oleh suatu komite yang disebut sebagai “Komite Keselamatan Publik”

Nasib Louis XVI dan keluarganya pun berakhir tragis. Dengan perbandingan suara 361 dan 288 di Konvensi Nasional, ia dijatuhi hukuman mati pada tanggal 17 Januari 1793 dengan tuduhan konspirasi terhadap kemerdekaan public dan keselamatan nasional. Ia dieksekusi dengan “guillotine” pada tanggal 21 Januari 1793 di Place de la Concorde.

Meski tampuk monarki telah berakhir, kaum Republik dihadapkan pada berbagai permasalahan, ada 3 permasalahan utama yang dihadapi Perancis : perang, harga-harga bahan makanan pokok yang sangat tinggi dan pemberontakan “sans-culottes” (pekerja miskin dan kaum Jacobins yang sangat radikal).

Melihat situasi yang semakin tidak kondusif, pada tanggal 2 Juni 1793, Jacques Hebert, seorang tokoh kaum republik yang revolusioner, dengan didukung oleh pihak militer, mengambil alih Konvensi Nasional dan menangkap kaum Girondists yang diduga sebagai pemicu berbagai macam krisis di Perancis setelah monarki.

Dengan ditangkapnya anggota-anggota sayap kiri moderat praktis Konvensi Nasional didominasi oleh kaum Jacobins (Revolusioner), Komite Keselamatan Publik pun direstrukturisasi pada tanggal 10 Juli 1793, dimana George Danton dan Maximilien Robespierre (keduanya sebagai anggota Jacobins) adalah tokoh yang mendominasi komite tersebut. Karena secara “de facto” Komite Keselamatan Publik adalah komite yang memegang kekuasaan eksekutif di Perancis, ‘maka mereka didaulat sebagai dwitunggal “pimpinan” Perancis pada saat itu’

Robespierre menjalankan pemerintahan dengan tangan besi untuk mengatasi krisis nasional di Perancis, hal ini bertambah parah dengan peristiwa terbunuhnya Jean Paul Marat anggota Jacobins terkemuka oleh Girondists, yang menyebabkan pertikaian antar kaum republik sayap kiri semakin meluas. Sejarah mencatat sekitar 16.000 orang dihukum mati dengan “guillotine” di masa pemerintahannya. Ia pernah mengatakan,

“To punish the oppressors of humanity is clemency; to forgive them is barbarity”

Apa yang dilakukan oleh Robespierre ini pada akhirnya ditentang oleh Danton yang menghendaki permasalahan krisis diselesaikan dengan jalan yang lebih moderat. Namun Robespierre menjelaskan kepada Danton, “an end of the terror as meaning the loss of political power”. Dan untuk menghilangkan kerikil tajam dari kalangan internal Jacobins, tanggal 30 Maret 1794, Georges Danton ditangkap dan kemudian dihukum mati dengan “guillotine” pada tanggal 5 April 1794.

Setelah mengeksekusi Danton, Robespierre membangun “kerajaan”nya sendiri, dia menggunakan pengaruhnya melalui Lescot dan de Payan untuk menguasai Jacobins di Konvensi Nasional serta menguasai militer melalui pengikutnya yang bernama de Saint-Just. Demikianlah usaha dari Robespierre secara politik dan militer untuk memenuhi ambisinya sebagai penguasa di Perancis.

Namun kematian Danton, tidak berakhir begitu saja. Anggota Jacobins pendukung Danton menggalang anggota Konvensi Nasional yang lain untuk meminta pertanggungjawaban Robespierre atas tuduhan bertindak diktator dan tirani. Pada tanggal 26 Juli 1794, Robespierre selama dua jam lebih melakukan pembelaan di depan anggota Konvensi Nasional. Keesokan harinya de Saint-Just melakukan tindakkan yang sama, yaitu melakukan pembelaan terhadap Robespierre.

Sidang Konvensi Nasional pun semakin panas, Robespierre dan de Saint-Just dicecar pertanyaan oleh para lawan politiknya hingga seseorang anggota Konvensi Nasional berteriak,

“The blood of Danton chokes him !”

Akhirnya Konvensi Nasional memerintahkan militer untuk menangkap Robespierre dan de Saint-Just serta para kroninya. Tanggal 28 Juli 1794, Robespierre dihukum mati dengan menggunakan “guillotine” tanpa melalui proses pengadilan. Setelah kematianya kaum sayap kiri Girondists kembali ke tampuk pemerintahan.

Disarikan dari :

(1) http://en.wikipedia.org/wiki/French_Revolution
(2) http://en.wikipedia.org/wiki/Georges_Danton
(3) http://en.wikipedia.org/wiki/Maximilien_Robespierre

Read more...

PERGESERAN NILAI ILMU

Minggu, 09 Mei 2010

“Mencari tahu sesuatu merupakan sifat dasar tiap manusia yang melekat dan terus menjadi jalan penerang dalam menjalani hidup, jadi ketika manusia dengan begitu cepat merasa puas akan sesuatu yang masih bias dan kabur maka jalan manusia takkan pernah dapat mencapai tujuan atau ia hanya berputar-putar ditempat yang sama”.

Sebuah kalimat pembuka yang di ucapkan oleh dosen mata kuliah ilmu alamiah dasar ketika penulis berada di tingkat 1 Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jakarta, kalimat itu begitu sederhana dan seperti bahasa klise yang tertulis pada setiap buku pengantar dalam mata kuliah ilmu alamiah dasar diseluruh perguruan tinggi. Namun esensinya begitu dalam dan mengakar pada tiap alam pikiran manusia yang masih terus berkeliling dalam kebingungan akan tujuan hidupnya masing-masing.

“Harta, cinta, tahta, persamaan sosial secara kolektif, derajat, dan surga”, bayang-bayang yang menghantui proses pencapaian subtansi kehidupan.
Namun kemudian yang begitu mengganggu dan menumbuhkan semangat akan pencarian makna bukanlah pertanyaan soal tujuan hidup manusia atau asal-usul manusia, namun pertanyaan itu adalah apa tujuan dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Misalkan saja apa tujuan dari ilmu fisiologi, ilmu fisiologi bertujuan mengetahui tentang bagaimana sistem kerja organ baik pernafasan dan pencernaan. Pertanyaan selanjutnya, setelah kita tahu tentang sistem kerja lalu untuk apa, “mengetahui tentang sistem kerja organ tubuh manusia itu penting agar kita mengerti ” mungkin saja jawaban itu yang akan muncul dan menjadi jawaban yang menimbulkan pertanyaan baru. Lalu jika sudah mengerti untuk apa, tentu kita akan terus berputar-putar tak tentu arah dalam lubang yang sama tiap jawaban justru menimbulkan pertanyaan. Hal ini terjadi karena kita telah terjerumus dalam suatu pemahaman yang keliru tentang ilmu pengetahuan, kita telah memisahkan anak dari ibunya, dan adik dari kakaknya. Ilmu fisiologi kita tempatkan di wilayah tersendiri tanpa teman, membuat ia seolah-olah ada hanya untuk dirinya saja. Kita melupakan bahwa ilmu tersebut merupakan turunan dari ilmu biologi yang merupakan anak kandung dari ilmu alam dan neneknya ilmu filsafat. Ilmu tidak boleh dipisahkan satu sama lain atau ia akan menjadi kacau dan tak bermakna. Sang ahli mungkin akan kehilangan hutan jika terlalu memehartikan pohon-pohon saja, lupa garis besar karena senantiasa memehartikan garis yang kecil-kecil saja .

Ya jika kita terlalu memerhatikan satu jenis pohon maka mungkin saja kita kehilangan jenis lainnya, dan jika kita terlalu memerhatikan pohon saja maka kita dapat kehilangan hutan. Satu ilmu harus berkaitan dengan lainnya, satu sama lain saling menunjang menuju hakikat cita-citanya.

Jadi untuk menjawab pertanyaan apa tujuan ilmu fisiologi maka kita juga harus menjawab dengan pertanyaan yang sama pada ilmu biologi,ilmu alam, dan filsafat setelah itu barulah kita menemukan sebuah titik temu. Ilmu pengetahuan untuk kepentingan manusia atas alasan kesejahteraan, keberlangsungan hidup, dan tata cara menjalani hidup. Jika akar subtansi telah kita peroleh maka akan lebih mudah menjalani setiap proses keilmuan. Ilmu untuk manusia.

Menjadi menarik jika hal tersebut kita benturkan dalam realitas hari ini. Pemahaman mengenai ilmu pengetahuan menjadi begitu sempit karena ia hanya dilihat sebagai sarana mendapat gelar sebagai modal memperoleh profesi yang menghasilkan uang. Sebenarnya hal ini sesuai dengan apa yang telah dikemukakan di atas namun konteksnya berubah dalam ruang lingkup individual. Ilmu pengetahuan sebagai penunjang kehidupan manusia kini masuk dalam wilayah pribadi bukan lagi manusia pada umumnya. Hal itu dapat dilihat dengan mempertanyakannya pada diri kita sendiri, apa tujuan dari proses belajar kita selama ini di universitas. Maka jawabannya tak lebih luas dari mencapai gelar sebagai modal kerja. Atau kita juga dapat temukan pada mahasiswa yang baru memasuki awal perkuliahan, pertanyaan yang selalu muncul adalah bagaimana prospek kerja kedepan. Mahasiswa fakultas hukum akan bertanya mengenai peluang menjadi jaksa, hakim, pengacara atau profesi sejenisnya. Tidak ada yang salah namun hal ini terasa begitu sempit untuk kepentingan ilmu hukum sesungguhnya. Mahasiswa seolah di didik menjadi tenaga kerja siap pakai yang berpikir secara mekanis.

Atau kita bisa lihat dalam kongres hukum pertama terdapat sebuah pergeseran nilai, disana dibahas menenai hukum sebagai unsur penunjang menuju cita-cita masyarakat adil makmur, sejahtera berasaskan Pancasila. Artinya hukum tidak berdiri untuk dirinya sendiri, namun sebagai salah satu unsur penunjang menuju cita-cita proklamasi, misal UU Pokok Agraria sebagai sebuah jalan distribusi penguasaan alat produksi berupa tanah pada kaum tani guna menghilangkan sistem tuan tanah dan penguasaan tanah secara berebihan yang mengakibatkan monopoli dan penumpukan kekayaan pada orang-orang tertentu. Kemudian dalam kongres hukum selanjutnya pembahasan lebih bersifat teknis mengenai hukum waris, kewarganegaraan dll. Ruh ideologi mulai luntur, tujuan mulai bias. Hingga hari ini hukum terkesan berdiri untuk dirinya sendiri, manusia kini menjadi objek bukan lagi subjek.

Namun kita harus tetap optimis untuk mengembalikan posisi ilmu pengetahuan kedalam trah sesusungguhnya yang telah lama ia tinggalkan,perubahan padigma harus dilakukan. Karena jika menggunakan logika normatif ilmu sebagai proses menuju gelar mendapatkan profesi yang menghasilkan uang, toh hari ini jumlah pengangguran yang terdidik terus meningkat mencapai 1,113,020 jiwa dibanding tahun 2007 sekitar 963.799 jiwa , pertanyaannya adalah apakah kualitas sarjana yang tak bernilai lagi sehingga ia takluk pada kata-kata jumlah lapangan kerja tak mencukupi, sehingga sarjana menjadi alat dari lapangan kerja yang bisa menolak kapan saja mereka datang. Atau memang kualitas ilmu pengetahuan yang menurun.

Terlepas dari itu semua permasalahan penyatuan antara ilmu pengetahuan dengan kebutuhan negara bahkan manusia harus dilakukan. Seberapa jauh Bogor membutuhkan ahli pertanian dibanding ahli akutansi. Seberapa jauh Papua membutuhkan ahli pertambangan dalam wilayah yang memiliki kekayaan tambang yang sangat kaya, dan tentu yang utama ilmu pengetahuan tak lagi menjadi milik individu namun digunakan dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama dan umat manusia pada umumnya.

Read more...

SJARAH MADILOG Tan Malaka (1943)

Selasa, 04 Mei 2010

Sumber: Terbitan Widjaya, Jakarta, tahun 1951. Bab III diambil dari terbitan Pusat Data Indikator, 1999.

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague. Dimuat di MIA pada tanggal 13 Juni 2007.

http://www.marxists.org/indonesia/archive/malaka/Madilog/index.htm


SEJARAH MADILOG

Ditulis di Rawajati dekat pabrik sepatu Kalibata Cililitan Jakarta. Disini saya berdiam dari 15 juli 1942 sampai dengan pertengahan tahun 1943, mempelajari keadaan kota dan kampung Indonesia yang lebih dari 20 tahun ditinggalkan. Waktu yang dipakai buat menulis Madilog, ialah lebih kurang 8 bulan dari 15 juli 1942 sampai dengan 30 maret 1943 (berhenti 15 hari), 720 jam, ialah kira-kira 3 jam sehari.

Buku yang lain ialah Gabungan Aslia sudah pula setengah di tulis. Tetapi terpaksa ditunda. Sebab yang pertama karena kehabisan uang. Kedua sebab sang Polisi, Yuansa namanya diwaktu itu, sudah 2 kali datang memeriksa dan menggeledah rumah lebih tepat lagi “pondok’’ tempat saya tinggal. Lantaran huruf madilog dan Gabungan Aslia terlampau kecil dan ditaruh di tempat yang tiada mengambil perhatian sama sekali, maka terlindung ia dari mata polisi. Terpeliharalah pula kedua kitab itu dan pengarangnya sendiri seterusnya dari mata dan tongkat kempei Jepang.

Lantaran hawa kediaman saya itu sudah agak panas dan bahaya kelaparan sudah mengintip, maka terpaksalah saya memberhentikan pekerjaan saya meneruskan menulis Gabungan Aslia. Saya bertualang di daerah Banten mencari nafkah sambil memperlindungkan diri pula.

Akhirnya saya dapat pekerjaan tetap di Tambang Arang, Bayah. Disinilah saya mendapat pekerjaan sedikit lebih tinggi dari romusha biasa, (maklumlah orang tak punya diploma dan surat keterangan!) sampai menjadi pengurus semua romusha dan penduduk kota Bayah dan sekitarnya dalam hal makanan, kesehatan, pulang-pergi dan sakit matinya romusha ribuan orang, dengan perantaraan kantor urusan prajurit pekerja.

Sebagai ketua Badan Pembantu Pembelaan (BPP) dan Badan Pembantu Prajurit Pekerja (BP3), saya akhirnya sampai dipilih menjadi wakil daerah Banten ke kongres Angkatan Muda yang dijanjikan di Jakarta, tetapi tak jadi itu (bulan Juni 1945). Disinilah saya berjumpa dengan pemuda seperti Sukarni, Chairul Saleh, dll. yang sekarang mengambil bagian dalam pergerakan Persatuan Perjuangan. Juga dengan pemuda lainnya umpamanya seorang jurnalis yang amat dikenal di sekitar Bayah ketika itu, tak lebih dan tak kurang dari Bang Bejat, alias Anwar Tjokroaminoto dan saudaranya. Resan minyak ke minyak, resan air ke air, kata pepatah.

Demikianlah pengarang ini yang pada masa Jepang itu memperkenalkan dirinya dengan nama ILJAS HUSSEIN, dengan jalan memutar sampai juga ke golongan yang dicari yang mulai mengambil bagian besar dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945, ialah golongan pemuda. Pekerjaan revolusioner di samping pemuda itu sampai sekarang terus berlaku, yakni Persatuan Perjuangan yang sudah mulai menulis sejarah. Atas permintaan pemuda pulalah Madilog sekarang akan disebarkan di antara mereka yang rasanya sanggup menerimanya.

Pena merayap di atas kertas dekat Cililitan, di bawah sayapnya pesawat Jepang yang setiap hari mendengungkan kecerobohannya di atas pondok saya. Madilog ikut lari bersembunyi ke Bayah Banten, ikut pergi mengantarkan romusha ke Jawa tengah dan ikut menggeleng-geleng kepala memperhatikan proklamasi Republik Indonesia. Di belakang sekali ikut pula ditangkap di Surabaya bersama pengarangnya, berhubung dengan gara-gara Tan Malaka palsu………………bahkan hampir saja Madilog hilang.

Baru 3 tahun sesudah lahirnya itu, Madilog sekarang memperkenalkan dirinya kepada mereka yang sudi menerimanya. Mereka yang sudah mendapat minimum latihan otak, berhati lapang dan seksama serta akhirnya berkemauan keras buat memahamkannya.

TAN MALAKA

Lembah Bengawan Solo, 15 Maret 1946.

Read more...

  © Blogger template Brownium by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP