PERGESERAN NILAI ILMU

Minggu, 09 Mei 2010

“Mencari tahu sesuatu merupakan sifat dasar tiap manusia yang melekat dan terus menjadi jalan penerang dalam menjalani hidup, jadi ketika manusia dengan begitu cepat merasa puas akan sesuatu yang masih bias dan kabur maka jalan manusia takkan pernah dapat mencapai tujuan atau ia hanya berputar-putar ditempat yang sama”.

Sebuah kalimat pembuka yang di ucapkan oleh dosen mata kuliah ilmu alamiah dasar ketika penulis berada di tingkat 1 Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jakarta, kalimat itu begitu sederhana dan seperti bahasa klise yang tertulis pada setiap buku pengantar dalam mata kuliah ilmu alamiah dasar diseluruh perguruan tinggi. Namun esensinya begitu dalam dan mengakar pada tiap alam pikiran manusia yang masih terus berkeliling dalam kebingungan akan tujuan hidupnya masing-masing.

“Harta, cinta, tahta, persamaan sosial secara kolektif, derajat, dan surga”, bayang-bayang yang menghantui proses pencapaian subtansi kehidupan.
Namun kemudian yang begitu mengganggu dan menumbuhkan semangat akan pencarian makna bukanlah pertanyaan soal tujuan hidup manusia atau asal-usul manusia, namun pertanyaan itu adalah apa tujuan dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Misalkan saja apa tujuan dari ilmu fisiologi, ilmu fisiologi bertujuan mengetahui tentang bagaimana sistem kerja organ baik pernafasan dan pencernaan. Pertanyaan selanjutnya, setelah kita tahu tentang sistem kerja lalu untuk apa, “mengetahui tentang sistem kerja organ tubuh manusia itu penting agar kita mengerti ” mungkin saja jawaban itu yang akan muncul dan menjadi jawaban yang menimbulkan pertanyaan baru. Lalu jika sudah mengerti untuk apa, tentu kita akan terus berputar-putar tak tentu arah dalam lubang yang sama tiap jawaban justru menimbulkan pertanyaan. Hal ini terjadi karena kita telah terjerumus dalam suatu pemahaman yang keliru tentang ilmu pengetahuan, kita telah memisahkan anak dari ibunya, dan adik dari kakaknya. Ilmu fisiologi kita tempatkan di wilayah tersendiri tanpa teman, membuat ia seolah-olah ada hanya untuk dirinya saja. Kita melupakan bahwa ilmu tersebut merupakan turunan dari ilmu biologi yang merupakan anak kandung dari ilmu alam dan neneknya ilmu filsafat. Ilmu tidak boleh dipisahkan satu sama lain atau ia akan menjadi kacau dan tak bermakna. Sang ahli mungkin akan kehilangan hutan jika terlalu memehartikan pohon-pohon saja, lupa garis besar karena senantiasa memehartikan garis yang kecil-kecil saja .

Ya jika kita terlalu memerhatikan satu jenis pohon maka mungkin saja kita kehilangan jenis lainnya, dan jika kita terlalu memerhatikan pohon saja maka kita dapat kehilangan hutan. Satu ilmu harus berkaitan dengan lainnya, satu sama lain saling menunjang menuju hakikat cita-citanya.

Jadi untuk menjawab pertanyaan apa tujuan ilmu fisiologi maka kita juga harus menjawab dengan pertanyaan yang sama pada ilmu biologi,ilmu alam, dan filsafat setelah itu barulah kita menemukan sebuah titik temu. Ilmu pengetahuan untuk kepentingan manusia atas alasan kesejahteraan, keberlangsungan hidup, dan tata cara menjalani hidup. Jika akar subtansi telah kita peroleh maka akan lebih mudah menjalani setiap proses keilmuan. Ilmu untuk manusia.

Menjadi menarik jika hal tersebut kita benturkan dalam realitas hari ini. Pemahaman mengenai ilmu pengetahuan menjadi begitu sempit karena ia hanya dilihat sebagai sarana mendapat gelar sebagai modal memperoleh profesi yang menghasilkan uang. Sebenarnya hal ini sesuai dengan apa yang telah dikemukakan di atas namun konteksnya berubah dalam ruang lingkup individual. Ilmu pengetahuan sebagai penunjang kehidupan manusia kini masuk dalam wilayah pribadi bukan lagi manusia pada umumnya. Hal itu dapat dilihat dengan mempertanyakannya pada diri kita sendiri, apa tujuan dari proses belajar kita selama ini di universitas. Maka jawabannya tak lebih luas dari mencapai gelar sebagai modal kerja. Atau kita juga dapat temukan pada mahasiswa yang baru memasuki awal perkuliahan, pertanyaan yang selalu muncul adalah bagaimana prospek kerja kedepan. Mahasiswa fakultas hukum akan bertanya mengenai peluang menjadi jaksa, hakim, pengacara atau profesi sejenisnya. Tidak ada yang salah namun hal ini terasa begitu sempit untuk kepentingan ilmu hukum sesungguhnya. Mahasiswa seolah di didik menjadi tenaga kerja siap pakai yang berpikir secara mekanis.

Atau kita bisa lihat dalam kongres hukum pertama terdapat sebuah pergeseran nilai, disana dibahas menenai hukum sebagai unsur penunjang menuju cita-cita masyarakat adil makmur, sejahtera berasaskan Pancasila. Artinya hukum tidak berdiri untuk dirinya sendiri, namun sebagai salah satu unsur penunjang menuju cita-cita proklamasi, misal UU Pokok Agraria sebagai sebuah jalan distribusi penguasaan alat produksi berupa tanah pada kaum tani guna menghilangkan sistem tuan tanah dan penguasaan tanah secara berebihan yang mengakibatkan monopoli dan penumpukan kekayaan pada orang-orang tertentu. Kemudian dalam kongres hukum selanjutnya pembahasan lebih bersifat teknis mengenai hukum waris, kewarganegaraan dll. Ruh ideologi mulai luntur, tujuan mulai bias. Hingga hari ini hukum terkesan berdiri untuk dirinya sendiri, manusia kini menjadi objek bukan lagi subjek.

Namun kita harus tetap optimis untuk mengembalikan posisi ilmu pengetahuan kedalam trah sesusungguhnya yang telah lama ia tinggalkan,perubahan padigma harus dilakukan. Karena jika menggunakan logika normatif ilmu sebagai proses menuju gelar mendapatkan profesi yang menghasilkan uang, toh hari ini jumlah pengangguran yang terdidik terus meningkat mencapai 1,113,020 jiwa dibanding tahun 2007 sekitar 963.799 jiwa , pertanyaannya adalah apakah kualitas sarjana yang tak bernilai lagi sehingga ia takluk pada kata-kata jumlah lapangan kerja tak mencukupi, sehingga sarjana menjadi alat dari lapangan kerja yang bisa menolak kapan saja mereka datang. Atau memang kualitas ilmu pengetahuan yang menurun.

Terlepas dari itu semua permasalahan penyatuan antara ilmu pengetahuan dengan kebutuhan negara bahkan manusia harus dilakukan. Seberapa jauh Bogor membutuhkan ahli pertanian dibanding ahli akutansi. Seberapa jauh Papua membutuhkan ahli pertambangan dalam wilayah yang memiliki kekayaan tambang yang sangat kaya, dan tentu yang utama ilmu pengetahuan tak lagi menjadi milik individu namun digunakan dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama dan umat manusia pada umumnya.

0 komentar:

Posting Komentar

  © Blogger template Brownium by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP